Memang bagi kebanyakan orang
kemiskinan adalah bencana, dan kebanyakan orang menyimpulkan secara kolektif
bahwa bencana itu mirip-mirip dengan adzab. Yah kira-kira hampir sama dan
sebangun.
Sementara itu orang tidak kebanyakan
juga kelihatannya kurang berminat untuk mengurusi apakah antara adzab dengan
bencana itu sama ataukah berbeda. Kalau sama, kok bisa sama, bagaimana konteks
sebab dan akibatnya. Kalau tidak sama, seberapa jaraknya.
Bencana, adzab, mushibah,
celaka, sial, kemudian banjir, gempa, gunung meletus, badai, halilintar, petir,
bercampur-aduk di dalam satu tabung makna. Ditambah lagi fakir, miskin, tak
punya apa-apa, sengsara, berat, susah, sedih, derita, aib, malu.
Kalau racun berwarna kuning,
kebanyakan orang berasosiasi bahwa yang membunuh bukan hanya racun, tapi juga
kuning. Kalau kemiskinan itu berat dan menderita, maka segala penderitaan dan
semua yang berat disimpulkan sebagai bencana, akhirnya bencana dikonklusikan
sebagai adzab.
Manusia mengalami kelelahan untuk
mengurai pengetahuan dan memilah gigir-gigir ilmu.
Rentang jarak yang bisa sangat panjang
antara keadaan miskin dengan adzab, ditekuk, dilipat-lipat, digumpalkan menjadi
satu titik. Peradaban panjang materialisme membawa ummat manusia menyisakan
satu pengertian makna: bahwa kemiskinan adalah adzab.
Semua jenis kegiatan yang
menghasilkan kekayaan harta benda, dianggap berkah. Segala perjuangan yang
ujungnya adalah kebangkrutan keduniaan, dipahami sebagai adzab.
Sehingga mereka bersedia dijajah
asal tidak miskin. Bahkan harta milik sebuah Bangsa dirampok tidak masalah,
asalkan penduduk Negara Bangsa itu disisakan sedikit untuk penghidupan
keluarganya. Kemiskinan itu hina, sehingga lebih baik ikut Iblis asalkan kaya,
daripada setia kepada Tuhan tapi disuruh bersabar dalam kemiskinan.
***
Sampai-sampai membangun tempat
ibadah pun tidak soal meskipun Setan yang membiayainya. Sehingga tidak perlu
memverifikasi halal haramnya bantuan yang diberikan untuk pembangunan rumah
ibadah itu.
Kemiskinan di dunia dimaknai sebagai
bencana yang membuat manusia merasa hina dan rendah. Tidak hanya rendah di hadapan
sesama manusia, tapi juga di depan dirinya sendiri. Adapun di depan Tuhan,
mereka merasa tidak ada bahan untuk mengukurnya. Tidak ada mata kuliahnya.
Tidak ada universitas dan fakultasnya.
Kehilangan martabat kemanusiaan tak
masalah, asal tetap punya pekerjaan, bisa menghidupi keluarga dan memastikan
kemakmuran. Tidak punya harga diri pribadi, harga diri kemasyarakatan dan
kebangsaan, itu bukan persoalan, karena yang utama adalah tegaknya materialisme
dalam kehidupan di dunia.
Manusia dan bangsa jenis itu,
benderanya adalah “Anti Kemiskinan”, bukan “Anti Pemiskinan”,
karena mereka melihat kekayaan dunia sebagai benda, bukan sebagai bahan-bahan
di dalam tugas akhlak. Jargon mereka “Anti Kebodohan”, bukan “Anti
Pembodohan”, karena faktanya kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan dalam
rangka anti-kebodohan ternyata adalah penumpukan kebodohan.
Seolah-olah Nabi pamungkas junjungan
mereka adalah orang yang kaya raya seperti kakeknya, Sang Raja Sulaiman.
Seakan-akan mereka tidak pernah mendengar bahwa junjungan mereka itu sangat
sering mengganjal perutnya dengan batu agar tak terlalu merasa sedang lapar.
Seakan-akan tak ada yang pernah menginformasikan kepada mereka bahwa luas rumah
junjungan mereka itu panjangnya 4,80 X lebarnya 4,62 X tingginya 2,5 meter.
Lebih sempit dari rata-rata kamar mandi mereka.
Seolah-olah para pemuka masyarakat
mereka menyembunyikan fakta bahwa kekayaan beliau dibagi-bagi ke
kelompok-kelompok ekonomi kecil di seantero Madinah. Sehingga beliau sendiri
menempuh pola hidup yang jauh lebih miskin dari kebanyakan manusia zaman
sekarang.
Kemudian miliaran pengikut beliau
berabad-abad mengibarkan bendera “Anti Kemiskinan”. Dan kemiskinan yang
dimaksudkan adalah pada konsep materialisme dan ideologi keduniaan.
Mayoritas penduduk bumi adalah
pemeluk Agamaterialisme.
Tanpa penggambaran bahwa dunia
adalah babak penyisihan, kemudian manusia maju ke babak-babak berikutnya,
perdelapan final, perempat final, semifinal sampai final menjelang ketentuan
final di depan gerbang Stadion Sorga dan Neraka.
***
Seakan-akan Tuhan tidak pernah
memberi pernyataan bahwa “Tidaklah Kuberikan ilmu kepada kalian kecuali
sangat sedikit”. Sehingga mereka pasang standar bahwa manusia itu harus
pandai, maka harus “Anti Kebodohan”.
Ummat manusia di muka umumnya lalai
dari penglihatan bahwa ‘audiens’ utama hidup mereka adalah Tuhan
sendiri. “Innallaha Khobirun bima ta`malun”. Sesungguhnya Allah
mengabarkan apa yang kalian lakukan. Allah penonton pentas dunia kita, Allah
wartawan pengumpul data dan pemotret kelakuan kita, Allah redaktur penayang make
up wajah kita. Kemudian Allah jaksa penuntut dan hakim kita.
Kealpaan manusia atas fakta panggung
dan audiens itu membuat mereka mampu gagah perkasa mementaskan kepandaian,
dengan jargon “Anti Kebodohan”. Mereka tidak menyusun kurikulum pada konteks
dan urusan apa kepandaian diperkenankan Tuhan untuk diperlukan dan digunakan.
Itu pun dengan batas takaran kepandaian yang dilapisi baja kewaspadaan.
Mereka juga tidak meneliti pada
proporsi yang mana kebodohan sangat dibutuhkan oleh manusia demi
keselamatannya. Manusia menyangka semakin ia tahu semakin baik dan selamat
hidupnya. Manusia tidak mensimulasi kemungkinan-kemungkinan di mana kepandaian
perlu dibatasi, sebagaimana kebodohan juga ditentukan kadarnya. Semua demi ketepatan
letak keselamatan dalam konstruksi kehidupan yang disusun oleh Tuhan.
Telinga manusia dibatasi jangkauan
pendengarannya, agar ia tidak perlu menjadi kalap dan gila karena
kesanggupannya mendengar omong-omong orang di jarak yang jauh.
Mata manusia juga dibatasi hanya
bisa melihat pada garis lurus, sebab kalau penglihatan bisa berbelok dan
melingkar, maka pakaian orang lain tidak ada fungsinya. Dan kalau pakaian tidak
berfungsi berarti semua orang telanjang. Dan kalau semua orang telanjang,
peradaban dan kehidupan hanya berumur beberapa minggu.
Demi keselamatan hidup manusia,
Tuhan menentukan batas penglihatannya, pendengarannya, jasad maupun batinnya,
pengetahuan dan ilmunya, kekuatan dan kesanggupannya. Allah Maha Penakar. Allah
Maha Pakar Batas.
Tetapi dasar manusia. Pada konteks
di mana mereka butuh membatasi, mereka kejar ketidak-terbatasan. Pada konteks
lain di mana mereka merdeka dari batas, mereka malah membatas-batasi.
Hasilnya kebudayaannya, ketika
mereka tidak punya jalan selamat yang lain kecuali memilih patuh, misalnya
kepada sunnah dan qadar Tuhan, mereka malah memilih kebebasan dan demokrasi.
Sebaliknya ketika Tuhan membuka kedaulatan bagi mereka, misalnya di wilayah
pemikiran, kreativitas atau teknologi, mereka malah menjadi pembebek-pembebek
kepada sesamanya.
Mereka balik dunia dijadikan
akhirat, akhirat diduniakan. Rohani dijasmanikan, sambil bingung bagaimana
merohanikan jasmani. Materialisme dituhankan, Tuhan dimaterikan.
Itulah yang oleh Markesot ditembangkan “bebendhu
tan kasat mata, pepeteng kang malih rupa”. Agamaterialisme. Tampak seperti
Agama, padahal materialisme. Tidak terasa materialisme, karena wajahnya Agama.
0 komentar:
Posting Komentar