SeTETES AIR: Mengenal Diri

Minggu, 02 Maret 2014

Mengenal Diri

Mengenal Hakikat Diri ; Kajian Pengantar – Ungkapan yang berbunyi “ Barang siapa mengenali dirinya, ia mengetahui akan Tuhan-Nya. Tak kenal akan dirinya, maka manusia tak kenal akan Tuhan-Nya “ merupakan sebuah hadist Qudsi yang sangat populer dalam dunia pembelajaran tauhid. Setiap pembelajar tauhid melalui kajian tasawuf atau yang lebih dikenal denggan sebutan Salik bisa dipastikan sangat akrab dengan ungkapan itu, karena salah satu tujuan utama dari pemahaman ilmu tauhid adalah mengenal Tuhannya sebagai Sembahan yang tak ada lagi sembahan selain Dia. Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Tunggal, Tak Berbilang, tak ada sesuatu pun yang setara dan bisa disetarakan dengan Dia. Zat, Sifat dan Perbuatan–Nya.

Karena Allah adalah Zat yang tidak tersusun dari molekul–molekul atau elemen–elemen yang bisa dilihat, dirasa dan diraba, tak bertempat dan tak berwarna dan tidak berupa sebagaimana sifat yang dimiliki oleh makhluk. Sehingga setiap sesuatu yang ada pada makhluk pasti itu bukanlah Tuhan dan setiap elemen yang dimiliki oleh Tuhan tidak akan pernah dimiliki makhluk, karena Tuhan itu bukan makhluk dan makluk tidak berhak untuk dipertuhankan dan mempertuhankan dirinya,

Akibatnya tidak ada satu pun metoda atau cara yang bisa dilakukan manusia sebagai makhluk untuk mengenal Allah sebagai Tuhannya, selain dari kebersediaan Tuhan itu sendiri untuk memperkenalkan diri–Nya. Tentunya melalui cara dan metoda yang telah ditetapkan–Nya sendiri untuk mengenalkan diri–Nya sebagaimana yang termuat dalam salah satu hadist Qudusi “ Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku ingin dikenali. Karena itu Aku ciptakan makhluk–makhluk, agar aku dikenali di dalam makhluk–makhluk tersebut.”

Dan ( ingatlah ), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka ( seraya berfirman ): “Bukankah Aku ini Tuhanmu ? ” Mereka menjawab: “ Betul ( Engkau Tuhan kami ), kami menjadi saksi ”. … “, ( QS : 007 : Al – A’raaf : Ayat : 173 ).

Jadi salah satu cara yang diperintahkan Allah untuk mengenal diri–Nya adalah melalui makhluk–makhluk yang telah diciptakan–Nya, Dan satu–satunya makhluk ciptaan Allah yang paling kita kenal dan paling dekat dengan kita sebagai manusia adalah diri kita sendiri, sehingga pilihan mengenal diri sendiri sebagai jalan untuk mengenal akan Allah adalah suatu langkah bijak yang telah dipilih oleh para mursyid untuk dipahami oleh para saliknya.

Jadi hadist Qudsi “ Barang siapa mengenali dirinya, ia mengetahui akan Tuhan-Nya. Tak kenal akan dirinya, maka manusia tak kenal akan Tuhan-Nya “ menjadikan diri kita sebagai objek dan subjek dalam kajian yang akan melahirkan pemahaman tentang Tuhan. Diri kita itu adalah jalan atau tariqat untuk mengenal akan Tuhan, hanya jalan, sehingga mengenal diri bukan bertujuan untuk mempertuhankan diri itu sendiri atau dalam upaya penyatuan diri dengan Tuhan karena Tuhan tidak perlu untuk menyatu dengan makhluk dan makhluk tidak akan pernah bisa menyatu dengan Tuhan, yang bisa menyatu dengan makhluk hanyalah makhluk dan Tuhan itu bukan makhluk dan makhluk tidak akan pernah bisa menjadi Tuhan.

Ketahuilah bahwa sessungguhnya pemahaman yang menyatakan bahwa, “ menyatunya makhluk dengan Tuhan merupakan maqam tertinggi dalam ilmu tauhid “ atau yang dikenal dengan istilah wahdatul ujud adalah stigma negatif yang dilontarkan oleh orang–orang yang tidak pernah memahami ilmu tasawuf dengan baik selain dari tinjauan–tinjauan kulit luarnya saja.

Mereka tidak pernah terjun kedalam, dalamnya lautan tasawuf yang sesungguhnya. Apabila diibaratkan, seperti seseorang yang baru melihat ikan dari tepian telaga saja, tapi pulangnya bercerita bahwa, dia telah mendapatkan ikan yang sangat besar atau ibarat cerita seorang pemburu tentang hewan buruan yang tak berhasil dikejarnyanya ( Insya Allah tentang pemahaman wahdatul ujud ini akan kita dibahas dalam kajian berikutnya )

Jadi tujuan dari kajian mengenal hakikat diri bukanlah dalam konsep pemahaman wahdatul ujud atau penyatuan diri dengan Tuhan yang tidak pernah ada dalam pemahaman ilmu tasawuf.
Secara syariat dan hakikatnya adalah dalam konsep “ Tidak bergerak sesuatu itu kecuali atas kehendak Allah ( lla billahil ‘aliyil adzim) atau mengembalikan Kuasa itu kepada Zat yang Maha Memilki Kekuasaan, yaitu Allah Rabb Al Alamin.
Semoga Allah selalu memberi rahmat dan hidayah–Nya kepada kita semua sehinggga kita semua diberi kemudahan dalam pemahaman dan pembelajaran secara benar sesuai dengan kehendak-Nya. Amin...

0 komentar:

Posting Komentar